Senin, 23 Mei 2011

TRANSAKSI ELEKTRONIK ( ELECTRONIC COMMERCE ) DALAM ASPEK HUKUM PERJANJIAN PERDAGANGAN

Wa Ode Zamrud
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dayanu Ikhsanuddin Bau-Bau)

REVIEW
1. Bahwa aspek hukum perjanjian perdagangan dalam transaksi elektronik
(Electronic Commerce) dapat diterapkan atau diadopsi dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku (hukum positip) dengan mengacu pada kaidah-kaidah hukum perdagangan yaitu dengan menggunakan asas konsensualitas dimana kesepakatan sebagai suatu hal yang
menjadi dasar adanya perikatan dalam perjanjian perdagangan artinya apa yang
telah disepakati oleh para pihak dalam perdagangan dengan model transaksi
elektronik (electronik commerce) menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak
walaupun belum secara konkrit diatur oleh undang undang .

2. Bahwa kepastian atas subjek dan objek perdagangan menjadi hal yang diharapkan
terkait dengan segala aspek hukumnya, khususnyanya mengenai legalitas dari
suatu perjanjian perdangangan menjadi prosedur resmi adanya formalitas
kesepakatan suatu perikatan. Karena transaksi elektronik (electronic
commerce) secara tekhnis berbeda karena kemajuan tekhnologi informatika
sehingga perlu diatur mengenai standarisasi tekhnis yang secara hukum
mempunyai kekuatan legalitas yang sama dengan model perjanjian konvensional ,
baik dalam bentuk tulisan maupun tanda tangan. Untuk sementara adanya
tekhnologi tanda tangan digital (digital signature) yang merupakan procedur
standart teknis dapat menjamin legalitas perjanjian perdagangan dalam transaksi
elektronik (electronic commerce ).

PERSEKONGKOLAN SEBAGAI KEJAHATAN BISNIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (ANALISIS KASUS PENJUALAN SAHAM PT. INDOMOBIL SUKSES INTERNASIONAL Tbk)

Oleh : Helza Nova Lita, SH, MH

REVIEW
Tindakan .PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP), PT Alpha Sekuritas Indonesia (ASI) dan PT Bhakti Asset Management (BAM), sebagai para pihak yang ikut dalam tender penjualan saham dan obligasi konversi PT Indomobil Sukses Internasional Tbk yang dilakukan BBPN dapat dikategorikan sebagai kejahatan bisnis karena merugikan pelaku usaha yang lain dan termasuk persekongkolan yang dilarang menurut undang-undang antimonopoli. Dalam Pasal 22 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Disamping itu juga persekongkolan tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap etika bisnis.

Berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 undang-undang antimonopoli para pihak yang terlibat dalam persekongkolan yang menyebabkan timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat dapat dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana pokok, maupun sanksi pidana tambahan.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seharusnya lebih bersifat proaktif dalam melakukan pengawasan usaha persaingan bisnis tidak hanya sebatas menunggu laporan pengaduan dari civil society organization atau dari pelaku usaha yang mengalami kerugian akibat tindakan persaingan usaha tidak sehat. KKPU seharusnya juga mengawasi berbagai kebijakan dan kondisi yang berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, dan tugasnya juga memberikan peringatan dini atas keadaan itu dan supaya pihak-pihak yang terlibat menyetop dan tidak melanjutkan perbuatannya/kebijakannya.

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN INTERSEKTORAL DAN DALAM SEKTOR PERTANIAN

I Wayan Rusastra, Saptana dan Supriyati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor


KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor pertanian perlu dibangun berdasarkan pada tata-ruang dan kelas kemampuan lahan. Perencanaan ini perlu didukung oleh pengembangan infrastruktur dengan karakteristik yang berbeda antar sektor/sub sektor dengan tetap mempertimbangkan konsep pembangunan wilayah secara terpadu. Perencanaan normatif ini hanya relevan untuk kawasan pengembangan baru, dan nampaknya tidak sepenuhnya operasional bagi wilayah yang sudah berkembang. Pada kawasan terakhir ini permasalahan yang perlu dipecahkan adalah mencegah konversi lahan pertanian produktif yang dapat mengancam investasi dan kelembagaan pertanian yang telah lama dibangun yang akhirnya berdampak buruk terhadap ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.

2. Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan pertanian produktif, melemahnya ketahanan pangan, dan marginalisasi petani paska konversi. Kebijakan mikro seperti harga dan pajak lahan serta pendapatan dinilai kurang efektif dalam mencegah proses konversi lahan. Perlu pembinaan dan pengembangan SDM petani paska konversi, sehingga dapat memanfaatkan secara efektif dana hasil konversi dan juga memiliki aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru di luar sektor pertanian. Perlu reorientasi pembangunan pertanian di Jawa dan penekanan pada manajemen dan teknologi komoditas bernilai tinggi, dan percepatan pembangunan di luar Jawa.

3. Kebijakan strategis antisipatif penanggulangan dampak konversi perlu mempertimbangkan langkah strategi jangka pendek seperti: (a) peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan peningkatan daya guna sarana dan prasarana irigasi aktual; (b) percepatan pencetakan sawah dan peningkatan kemampuan sistem irigasi secara berjenjang sesuai dengan tahap perkembangannya (dini – maju – responsif); (c) perluasan irigasi dikaitkan dengan usaha-usaha yang telah dirintis oleh masyarakat seperti pengembangan sawah tadah hujan dan pembukaan areal pertanian baru; dan (d) pelaksanaan penegakan hukum melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi pertanian strategis.

4. Optimalisasi pemanfaatan lahan dalam sektor pertanian perlu diinisiasi melalui identifikasi karakterisasi dan pemetaan AEZ sebagai basis perencanaan pembangunan dan pewilayahan komoditas pertanian. Dalam operasionalnya perlu didukung dengan penciptaan teknologi introduksi spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan modal/pendanaan dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output pertanian serta kebutuhan konsumsi masyarakat. Strategi ini juga perlu difasilitasi dengan program konsolidasi lahan pertanian dengan mengembangkan pertanian dengan basis komoditas tertentu dan berwawasan agribisnis. Konsolidasi dapat diwujudkan melalui kerjasama kemitraan antara investor agribisnis dan petani dalam suatu kawasan agroekosistem. Strategi konsolidasi lahan ini disamping berperan dalam optimalisasi pemanfaatan lahan, juga mencegah alih fungsi lahan melalui pelaksanaan program kemitraan atau kooperatif farming yang sejalan dengan dorongan permintaan pasar yang menuntut adanya peningkatan efisiensi melalui perbaikan skala usaha pertanian.

ANALISIS KOMPARATIF ASPEK SOSIAL EKONOMI ANTARA USAHA PENANGKAPAN DAN PEMBESARAN LOBSTER DI TELUK EKAS, LOMBOK TIMUR

Moh. Nazam, Prisdiminggo dan Arief Surahman
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB



REVIEW
Usaha pembesaran lobster memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di Teluk Ekas, Lombok Timur dibandingkan dengan usaha penangkapan.
• Usaha pembesaran memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan usaha penangkapan, yaitu Rp.4.120.281,-/tahun dibandingkan dengan Rp.2.242.278,-/tahun atau berbeda nyata (p<0,05).
• Kondisi biofisik Teluk Ekas sesuai untuk pengembangan usaha pembesaran lobster. Ketersediaan benih dan pakan secara lokal, memungkinkan usaha ini dapat dikelola secara efisien dan berkelanjutan.
• Dari berbagai kriteria kelayakan finansial menunjukkan bahwa usaha pembesaran lebih layak diusahakan dibandingkan dengan usaha penangkapan atau berbeda nyata (p<0,05). Adanya jaminan kepastian hasil dan pasar dengan tingkat resiko yang relatif kecil, memungkinkan usaha pembesaran lobster dapat dikelola secara komersial. Usaha pembesaran juga memberikan peluang usaha bagi masyarakat, sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.

Implikasi kebijakan
Untuk mendukung pengembangan usaha pembesaran lobster yang efisien dan berkelanjutan perlu dilakukan upaya-upaya :
a. Usaha pembesaran lobster perlu dikelola pada skala usaha ekonomi. Untuk itu perlu diupayakan skim kredit yang sesuai untuk membantu permodalan nelayan mencapai skala usaha yang optimal.
b. Pengendalian usaha penangkapan lobster yang bersifat destruktif hendaknya dilarang agar tidak mengganggu proses regenerasi lobster terutama dalam upaya penyediaan benih dan pakan secara alami.
c. Pembenihan secara massal di panti pembenihan (hatchery) dan pembuatan pakan alternatif sebagai pakan pengganti (substitusi) maupun sebagai suplemen untuk mengurangi ketergantungan dari alam.
d. Peningkatan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap setiap aktivitas yang merusak lingkungan melalui optimalisasi tugas dan fungsi kelembagaan awig-awig pengelolaan sumberdaya perikanan dan suaka perikanan yang ada di kawasan Teluk Ekas.
e. Pembukaan jalur pemasaran langsung Mataram – Singapura atau negara tujuan ekspor lainnya, guna memperpendek rantai pemasaran lobster, sehingga harga di tingkat nelayan dapat ditingkatkan.

ASPEK-ASPEK HUKUM KETENAGAKERJAAN DALAM PEMBANGUNAN INDUSTRI PARIWISATA SEBAGAI INDUSTRI GAYA BARU DALAM RANGKA MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA

Atje, Suherman, Sarinah
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaraan
Jl. Dipati Ukur 35 Bandung

REVIEW
Dari data-data hasil penelitian, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Perkembangan usaha Kepariwisataan di Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat
sangat besar peranannya dalam menampung tenaga kerj. Dari sekian banyak
pencari kerja, sebagian dapat disalurkan pada usaha kepariwisataan.
2. Meskipun industri pariwisata besar sekali andilnya bagi pemerintah dalam
membuka lapangan kerja, namun masih banyak kendala-kendala yang
menghambat kelancaran dunia usaha kepariwisataan baik dari masyarakat
pencari kerja maupun dari aparat pemerintah sendiri.
3. Dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut, pemerintah telah berusaha
untuk meningkatkan sumber daya manusia baik melalui jalur pendidikan
formal maupun jalur latihan kerja.

Saran
1. Diperlukan adanya koordinasi yang baik anatra para pelaku proses produksi
barang dan jasa ( pekerja, pengusaha, pemerintah ) yang berkaitan dengan
kepariwisataan.
2. Diperlukan adanya pendidikan, pembinaan, penyuluhan dan pelatihan
kepariwisataan secara berlanjut dan berkesinambungan.
3. Hendaknya pemerintah menyederhanakan birokratisasi.

Aspek Hukum Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas

Sulasi Rongiyati

REVIEW
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
penerapan Pasal 74 UU PT memiliki aspek hukum: pertama, TJSL bagi perseroan
yang kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam
merupakan kewajiban hukum (legal obligation) yang tidak hanya melekat pada
perseroan yang kegiatan utamanya di bidang sumber daya alam, melainkan
juga menjadi kewajiban perseroan yang bisnis intinya tidak secara langsung
menggunakan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam. Kedua, penempatan CSR sebagai
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
perseroan membawa konsekuensi pada perusahaan untuk membuat
perencanaan pelaksanaan CSR dan anggaran yang dibutuhkan dalam rencana
kerja tahunan agar biaya yang dikeluarkan dapat diperhitungkan sebagai PTKP.
UU PT juga memberikan fleksibilitas besarnya anggaran pelaksanaan CSR
berdasarkan kemampuan perusahaan dengan mempertimbangkan manfaat yang
akan dituju dan resiko serta besarnya tanggung jawab yang harus ditanggung
oleh perusahaan sesuai dengan kegiatan bisnisnya . Ketiga: Sanksi terhadap
perseroan yang melanggar ketentuan Pasal 74 didelegasikan kepada undangundang
terkait yang menaungi pengaturan bisnis perseroan. Keempat:
Implementasi Pasal 74 UU PT sangat tergantung pada materi TJSL yang akan
diatur dalam peraturan pemerintah sebagai pengaturan lebih lanjut dari UU PT.
Sebagai perusahaan yang kegiatan utamanya di bidang sumber daya
alam,PT. RAPP telah melaksanakan TJSL sebelum diwajibkan oleh UU PT.
Pelaksanaan TJSL mengacu pada kebijakan perusahaan yang tercermin dari
visi dan misi perusahaan dengan membentuk satu departemen khusus yang
menangani CSR, sehingga keseluruhan program tanggung jawab sosial dan
lingkungan PT. RAPP sudah terencana dan dianggarkan setiap tahun serta
menitik beratkan pada program pemberdayaan masyarakat sebagai suatu
layanan sumber daya dukung untuk membantu masyarakat setempat
mengentaskan dirinya sendiri.

REKOMENDASI
Mengingat Pasal 74 UUPT hanya mengatur TJSL secara umum dan
mendelegasikan peraturan pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah, maka
untuk menciptakan kepastian hukum, Peraturan Pemerintah tersebut harus
segera terbentuk sebagai pedoman pelaksanaan bagi perseroan yang terkena
kewajiban melaksanakan TJSL. Disamping itu subtansi dari peraturan pemerintah
tersebut harus secara lengkap, jelas dan rinci mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan kewajiban perseroan di bidang TJSL untuk menghindari multi tafsir yang
dapat berujung pada konflik serta dalam memudahkan implementasi.

PERKEMBANGAN KETENTUAN TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN LAUT DARI PENCEMARAN DI INDONESIA

Suhaidi
Dosen Fakultas hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

REVIEW
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan letaknya yang strategis, memiliki perairan laut lebih luas dari pada daratnya, pada perairan tersebut terdapat lingkungan laut Indonesia. Lingkungan laut Indonesia merupakan modal dasar bagi pembangunan, kaya akan sumber kekayaan laut, baik hayati maupun non-hayati, oleh karena itu sangat perlu untuk melindunginya. Perkembangan ketentuan tentang perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran di Indonesia belum terpadu, masih terdapat ketentuan yang belum selaras dengan ketentuan yang lain sehingga menyulitkan dalam implementasinya.

SARAN
Dalam mengimplementasikan suatu ketentuan-ketentuan internasional ada faktor-faktor
yang harus diperhitungkan. Di samping terdapatnya perbedaan interpretasi atas pasal-pasal tertentu, juga disebabkan masih kurangnya informasi yang menyangkut kelembagaan, biologi, serta ekonomi perikanan. Dengan demikian diperlukan upaya yang serius baik dari segi yuridis dan non-yuridis dalam rangka pembinaan hukum nasional yang mengarah pada perlindungan lingkungan laut Indonesia.

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM SEBAGAI ALTERNATIF METODE PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA

Budiman Ginting
Dosen Fakultas Hukum USU dan Kandidat Doktor Program Pascasarjana USU

REVIEW Dan SARAN

Dari analisis deskriptif sebagaimana diuraikan terdahulu tentang topik bahasan pada tulisan ini bahwa dengan metode perbandingan sistem hukum dapat dijadikan sebagai alternatif untuk membangun kerangka substantif hukum untuk mengantisipasi perkembangan hukum secara global sesuai tuntutan era globalisasi pada masa kini. Di Indonesia sistem common law telah memberi pencerahan warna tersendiri bagi pembaharuan hukum di Indonesia yang selama ini menganut sistem civil law peninggalan Belanda. Antara common law yang berlandaskan pada sumbernya berupa case law, dan civil law yang pada umumnya berdasarkan pada kebijakan politik hukum pemerintah lewat penciptaan dan pembaharuan maupun lewat amandemen
peraturan perundangannya. Kiranya hal ini dapat merespon kebutuhan individual maupun kelompok dalam masyarakat untuk mengantisipasi kepentingan masyarakat sesuai dengan perubahan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam mengantisipasi lajunya dunia perdagangan bebas yang tentunya memerlukan landasan hukum yang kuat untuk memberi kontribusi terhadap perkembangan dunia bisnis di Indonesia. Kita tidak bisa selamanya berdasarkan kepada proses pembentukan hukum melalui politik kebijakan pemerintah lewat produk perundang-undangan secara permanen yang memerlukan waktu dan biaya yang besar.

Oleh sebab itu hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat/dunia bisnis internasional berdasarkan case law dapat dituangkan ke dalam produk politik hukum lewat pembentukan hukum oleh pemerintah (judikatif and legeslative product) maupun pembentukan hukum oleh hakim (jurisprudence law) atau perpaduan keduanya yang berdasarkan kepada perubahan kepentingan masyarakat sesuai dengan era globalisasi perdagangan dunia saat ini dan masa depan. Bahwa Indonesia sebagai penganut civil law dalam pembaharuan hukumnya cenderung mengadopsi commmon law system terutama di sektor perdagangan kita telah mengenal derivative action dan class action dalam UU PT dan UU Perlindungan Konsumen dan UU Lingkungan Hidup sebagai kebutuhan dalam dunia global. Dari segi kemanfaatan secara pragmatis kebijakan pemerintah RI dapat memberi nilai tambah untuk keperluan masing-masing anggota masyarakatnya. Untuk itu agar manfaat secara dogmatis perlu diwaspadai.

Gejala-gejala yang mementingkan kelompok tertentu merupakan tendens yang tak bisa
dipungkiri oleh sebab itu pembaharuan hukum di Indonesia diharapkan tidak mengorbankan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berakar pada nilai-nilai kultural bangsa yang bercirikan pada nilai-nilai kebiasaan hidup secara tradisional (bersifat komunal) dari masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian gerakan pembaharuan dan pembentukan hukum diharapkan agar tetap mengakar kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan memadukan unsur adanya kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan hukum yang berintikan keadilan bagi semua warga negara Indonesia.

Analisis Prosedur Permohonan kepailitan di pengadilan niaga

ANALISIS PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA
Hermansyah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

REVIEW
Prosedur permohonan kepailitan di pengadilan niaga mempunyai kekhususan tersendiri,
baik fakta materil sebagai bukti maupun hukum caranya, di mana pada pengadilan niaga majelis hakim mempunyai jangka waktu 30 hari untuk memutus atau perkara kepailitan, dan tidak mengela upaya hukum banding, hal ini berbeda dengan permohonan gugatan di pengadilan umum yang jangka waktunya cukup lama 6 bulan bagi hakim untuk memutus satu perkara, serta mempunyai uapaya hukum banding. Dalam penegakan hukum majelis hakim pengadilan niaga dapat memberikan putusan akhir berupa mengabulkan/menerima permohonan pailit, menolak permohonan pailit, menyatakan tidak dapat diterima permohonan pailit, dan yang terakhir ini putusan dinyatakan tidak dapat diterima menjadi perdebatan di kalangan praktisi karena pengaturannya untuk ini tidak secara tegas disebutkan dalam UUK No.4 Tahun
1998. Apakah dengan putusan tidak dapat diterima ini dapat diperkenankan kembali kepada pemohon pailit untuk mengakan permohonan kepailitan kedua kalinya kepada debitur hal ini juga perlu mendapat perhatian. Hambatan-hambatan pada putusan kepailitan adalah mengenai penafsiran istilah utang yang ada dalam UUK No.4 Tahun 1998, apakah utang dalam arti sempit atau utang dalam arti luas.

SARAN
Perlu untuk ditinjau kembali prosedur permohonan pailit, terutama dalam jangka waktu 30 hari diberikan kepada majelis hakim untuk memutus perkara kepailitan, perlu penegasan dalam pengaturan UUK No.4 mengenai putusan hakim tidak dapat diterima, apakah kreditur dapat mengajukan kembali kepada debitur. Terhadap UUK yang baru diharapkan agar pengertian utang dicantumkan secara tegas dan rinci sehingga tidak menimbulkan penafsiran-penafsiran.

SCRIPLESS TRADING DAN PRINSIP KETERBUKAAN MENCIPTAKAN PASAR YANG EFISIEN DAN MENGURANGI RESIKO INVESTASI

SCRIPLESS TRADING DAN PRINSIP KETERBUKAAN MENCIPTAKAN PASAR YANG
EFISIEN DAN MENGURANGI RESIKO INVESTASI

Megarita
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

REVIEW
Beberapa keuntungan dirasakan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pasar modal dengan adanya Scripless Trading dan sistem keterbukaan. Karena proses perdagangan semakin lebih cepat, aman dan efisien, penyebaran informasi yang lebih merata dan berkualitas, iklim investasi yang semakin nyaman dan meningkatkan kepercayaan publik. Pasal 56 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 dan peraturan lain serta lembaga-lembaga yang terkait di pasar modal dapat menunjang pelaksanaan Scripless Trading dan sistem keterbukaan tersebut,
sehingga dapat tercapai suatu yang benar-benar diharapkan yaitu pasar yang efisien,transparan, dan aman.

SARAN

Diharapkan para pelaku pasar modal bersungguh-sungguh berupaya untuk mendukung sistem Scripless Trading dan keterbukaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dalam sistem perdagangan itu. Pengembangan pasar harus mengedepankan unsur keamanan dan menghindari adanya praktek-praktek yang bersifat manipulatif. Penegakan hukum mutlak dilakukan, dengan demikian jumlah investor akan semakin meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan likuiditas pasar. Mengingat perdagangan tanpa warkat menjadi alat yang paling
efektif untuk meningkatkan akumulasi perdagangan, namun juga dapat menjadi bumerang bila ternyata aspek keamanan dan keabsahan transaksi serta perlindungan hukum bagi para pelaku.

Penerapan Hukum Pada kesetaraan Jender Dan keterwakilan Di bidang Politik

PENERAPAN HUKUM PADA KESETARAAN JENDER DAN HARAPAN MEWUJUDKAN
KETERWAKILAN DI BIDANG POLITIK

Sinta Uli
Dosen Fakultas Hukum USU dan Ketua Penyunting Jurnal Equality

REVIEW

Kesetaraan jender memberi peluang bagi wanita untuk berbuat maksimal dalam
masyarakat. Melaksanakan amanat undang-undang memajukan kehidupan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh sebab itu wanita harus turut di lembaga legislatif. Setelah meratifikasi konvensi wanita melalui undang-undang no. 7 tahun 1984, seharusnya negara-negara yang meratifikasinya melaksanakan komitmennya, melaksanakan kesetaraan dan keadilan wanita dan laki-laki (equality dan equity). Melihat masalah ketimpangan dan keadilan yang dialami
wanita ditanggapi serius oleh pemerintah dijabarkan dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Program pembangunan hukum memerlukan perumusan, kebijakan, dan program itu memperhatikan secara konsisten dan sistematis pembedaan wanita dan laki-laki dalam masyarakat serta mengupayakan menghilangkan hambatan struktur dalam mencapai keadilan dan kesetaraan jender. Melihat harapan untuk wanita itu banyak dimuat dalam undang-undang namun penerapan hukumnya masih belum berjalan.
Keterwakilan wanita di lembaga pengambilan keputusan direkomendasikan kepada
Presiden dengan Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2002. Keterwakilan wanita dalam politik dimulai dari adanya kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai manusia dari elemen bangsa ini.

Kemudian diikuti dengan perundang-undangan yang telah mengaturnya. Undang-Undang No.12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1: “Setiap partai politik peserta pemilu
dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30%. Akan tetapi maksud ini belum tercapai.

Restrukturisasi ekonomi dalam perspektif hukum

RESTRUKTURISASI EKONOMI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM
Fathul Djannah1 dan Rinaldy2
1Dosen Institut Agama Islam Sumatera Utara Medan
2Dosen dan Dekan Fakultas Ekonomi Graha Nusantara Tapanuli Selatan Sumatera Utara

REVIEW
Restrukturisasi ekonomi adalah suatu upaya yang harus segera dilaksanakan, guna
menyelamatkan posisi ekonomi kita yang sedang terpuruk bahkan berada di ambang kehancuran. Fenomena tersebut di atas, merupakan sebuah gambaran dan sinyal betapa system perekonomian kita menuntut secara dini upaya perbaikan secara komprehensif dan simultan.

Gejala ini apabila tidak diantisipasi secara lebih jauh akan membawa konsekuensi yang lebih buruk, dan berimplikasi pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Restrukturisasi ekonomi juga harus dilaksanakan, menurut paradigma dan perspektif hukum, karena pada dasarnya hukum adalah merupakan bagian terpenting dari aspek ekonomi. Selain itu restrukturisasi ekonomi dan pembenahan sistem hukum sangat terkait dengan prinsip good governance.

Ekonomi dinilai memiliki karakteristik gerak perkembangan yang cepat dinamis dan fleksibel, harus disenergikan dengan hukum yang justru dianggap berjalan lamban dan kaku. Perbedaan karakteristik inilah yang menjadi tantangan bagi para ahli hukum dan ekonomi untuk memadukan keduanya agar tercipta keseimbangan yang harmonis dalam pembangunan nasional. Tugas hukum yang utama adalah menjaga, mengadakan kaidah-kaidah pengaman, memberikan kepastian, keadilan dan memberikan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran agar pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak-hak dan kepentingan pihak yang
lemah. Suatu sistem hukum yang buruk secara langsung dapat menimbulkan bahkan menjatuhkan kepercayaan masyarakat (termasuk masyarakat internasional) terhadap kredibilitas pemerintah, pengadilan, lembaga keuangan, perbankan, maupun dunia usaha kita dan secara mutlak dapat mempengaruhi roda kehidupan ekonomi.


Restrukturisasi ekonomi berarti mengadakan pembenahan terhadap paradigma ekonomi, sistem, cara kerja dan mekanisme semua lembaga-lembaga ekonomi. Sedangkan reformasi hukum tidak saja membenahi mental aparat penegak hukum, pengadilan dan peraturan perundang-undangan yang ada, tapi juga harus menciptakan suatu penegak hukum yang konsisten dan berkeadilan
serta yang terpenting adalah mampu memposisikan hukum sebagai panglima dalam mengatur segala sendi kehidupan masyarakat dan negara.

Aspek Perlindungan Hukum Dalam Transaksi Melalui Media Internet

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM
DALAM TRANSAKSI MELALUI MEDIA
INTERNET

Tan Kamello
Dosen Fakultas Hukum USU dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU

REVIEW
Dalam era informasi, penggunaan media internet merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar, apalagi dalam transaksi bisnis ekonomi global. Konsekuensinya adalah diperlukan sistem pengamanan untuk perlindungan hukum bagi para pelaku bisnis khususnya dalam kontrak bisnis siber. Perlindungan hukum yang ada sudah tidak memadai lagi sehingga perlu pembentukan hukum di bidang teknologi informasi yang di dalamnya diatur masalah pemakaian media internet. Pengaturannya harus disikapi dengan hati-hati dalam pendekatan sistem, sehingga tidak memudahkan persoalan kontrak bisnis siber. Prinsip-prinsip hukum
kontrak dalam KUH Perdata masih dapat dipakai ditambah dengan prinsip hukum baru yang terdapat dalam dunia internet.