Jumat, 18 Maret 2011

aspek hukum dan peraturan perbankan syariah

III. Aspek Hukum dam Peraturan Pendukung Perbankan Syariah
a. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Sebagaimana disampaikan diatas, perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup menjanjikan walau geraknya tidak secepat perbankan konvensional, hal ini akibat dari sistem dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbankan syariah untuk berkembang. Kita bisa melihat sebelum adanya revisi terhadap undang-undanga perbankan atau munculnya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistim operasional bank syariah, kecuali UU No 7 Tahun 1992 dan PP No 72 Tahun 1992. Dalam UU No 7 Tahun 1992 itu keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang biasa kita sebut bank konvensional.
Setelah adanya revisi terhadap paraturan perundang-undangan perbankan yaitu munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
2. Prinsip Kesederajatan
Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.
3. Prinsip Ketentraman
Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.
Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional.
Bank Syari’ah / Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada pasal 6 huruf (m) dan pasal (e) tidak disebutkan Bank Syari’ah (Syariah), akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil. Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan Syari’ah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.
UU No.10 tahun 1998 di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia, efek dari hal tersebut adalah perbankan syariah tidak berdiri sendiri(mandiri), sehingga dalam operasionalisasinya masih menginduk kepada bank konvensional. Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan syariah maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara sendiri perbankan syariah.
Dalam UU No 10/1998 ini juga belum bisa maksimal karena dalam UU ini aspek perbankan syariah dan pendukungnya belum banyak yang dianut secara konsisten. Karena kalau dilihat dari potensi yang dimiliki perbankan syariah yang sungguh luar biasa, tidak mungkin perbankan syariah hanya mendapat porsi dibawah 5 % dari perbankan konvensional nasional, semestinta perbankan syariah bisa mendapatkan porsi 50 % bahkan bisa lebih dari itu, apabila legitisamsi hukum yang diberikan sesuai dengan konsep syariah yang sebenarnya secara kaffah dan konsisten.
Hal ini juga disampaikan Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN), KH Ma’ruf Amin. Menurut KH. Ma’ruf Amin, UU nomor 10/1998 belum terlaksana secara maksimal. Masih banyak yang harus diperbaiki dari UU tersebut, perbankan syariah dan perbankan konvensional memiliki karakter yang berbeda. Karena itu, perlu ada peraturan atau UU tersendiri dari perbankan syariah untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah. Karena Idealnya market share (pangsa pasar) bank syariah dan bank konvensional itu fifty-fifty.
Ada revisi terhadap UU Bank Indonesia yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) memberikan support terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimana dalam UU No. 23/1999 menugaskan BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. Dual Banking System yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku (Bank Indonesia, Oktober 2001).
Peran Bank Indonesia sebagai Bank Central Indonesia yang memegang otoritas moneter adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Menurut pasal. 11 ayat 1 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh (90) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syariah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Sedangkan maksud agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Sedang bagi perbankan syariah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang berdasarkan prinsip syariah belum berkembang di Indonesia.

prospek perbankan islam

II. Prospek Perbankan Islam di Indonesia
Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu. Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan meningkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman. Dalam Islam tidak diperbolehkan adanya dana yang mengendap atau tidak produktif. Sehingga konsep perbankan syariah, yaitu bagaimana dana semua bisa produktif membangun ekonomi masyarakat.
Sementara itu, LPPS terakhir perbankan Syariah tahun 2006 Bank Indonesia Selama tahun 2006 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami peningkatan, yaitu masing-masing sebanyak 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 13 BPRS. Secara industri pada akhir 2005 terdapat 3 Bank Umum Syariah (BUS), 20 UUS dan 105 BPRS. Sejalan peningkatan tersebut, jaringan kantor bank syariah (termasuk kantor kas, kantor cabang pembantu dan Unit Pelayanan Syariah) juga mengalami peningkatan sebanyak 40 kantor sehingga menjadi 636 kantor pada akhir tahun 2006. Kinerja Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Selama tahun 2006 industri perbankan syariah mengalami peningkatan volume usaha sebesar Rp5,8 triliun sehingga pada akhir periode laporan mencapai Rp26,7 triliun. Peningkatan tersebut memperbesar pangsa aset perbankan syariah terhadap total asset perbankan nasional dari 1,4% pada akhir tahun 2005 menjadi 1,6% pada akhir 2006.(Bank Indonesia.2006.LPPS Perbankan Syariah)
Sementara dari sisi aset, menurut Deputi Bank Indonesia Siti Fadjrijah, perbankan syariah mengalami kenaikan menjadi Rp 29,2 triliun (1,69 persen dari total aset industri perbankan) jika dibandingkan akhir 2006 yang berjumlah Rp 26,7 triliun (1,55 persen dari total aset industri perbankan). Untuk dana pihak ketiga (DPK), posisi Juni 2007 adalah sebesar Rp 22,71 triliun, meningkat dibandingkan akhir 2006 yang sebesar Rp 20,67 triliun. Pembiayaan atau kredit per Juni 2006 adalah sebesar Rp 22,97 triliun, naik dibandingkan akhir 2006 yang sebesar Rp 20,44 triliun. Sedangkan untuk FDR (Financing to Deposit Ratio/LDR) per Juni 2007 adalah 101,1 persen, naik dari posisi akhir 2006 yang sebesar 98,9 persen. BI menargetkan pada 2007 ini total aset perbankan syariah tumbuh menjadi 2,8 persen dari total aset industri perbankan. Serta pada tahun 2008 mencapai 5 persen dan akan tumbuh pada 2015 menjadi 15 persen.
Ini menandakan perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah sesuatu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu adanya perhatian dari semua pihak, bahwa prospek perbankan syariah akan mampu memberikan nilai (value) yang besar kepada perekonomian nasional.

sejarah perbankan islam

Pembahasan
I. Sejarah Perbankan Islam
a. Sejarah perbankan Islam di Dunia
Istilah Perbankan Islam atau Perbankan Syariah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Karena itulah sistem Perbankan Syari’ah menerapkan sistem bebas bunga (interest free) dalam operasionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim untuk mendefinisikan Perbankan Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam, dengan mengacu kepada Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan dasar hukum dan operasional.
Konsep teoritis mengenai Perbankan Islam muncul pertama kali, menurut dalam bukunya Sultan Remy Sjahadeini bahwa pemikiran dari para penulis yang mula-mula menyampaikan gagasan mengenai perbankan Syari’ah adalah Anwar Iqbal Qureshi, Naiem Siddiqi, dan Mahmmud Ahmad. Kemudian uraian yang lebih rinci tentang gagasan ini ditulis oleh Al Maududi (1950). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul A Groundwork for Interest Free Bank.
Pemikiran yang sudah muncul pada tahun 50-an tidak langsung memberikan jalan yang lapang bagi perbankan Islam. Tahun 1960-an, bank Syari’ah hanya menjadi diskursus teoritis. Belum ada langkah konkrit yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa bank Syari’ah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara Islam.
Hingga pada tahun 1963 dari sudut kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil. Sedang Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Karena mesir telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Pada perjalanannya sistem perbankan berbasis Syariah, semakin hari semakin populer bukan hanya di negara-negara Islam tetapi juga negara-negara barat, yang ditandai dengan makin suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syariah. Perkembangan perbankan syariah atau perbankan dengan konsep bagi hasil menandakan konsep syariah dalam pengelolaan kekayaan/ uang diterima kebiasaan umat manusia secara universal, karena jelas-jelas konsep riba atau bunga dalam Islam sangat dilarang dan bertentangan dengan konsep kemanusiaan.

b. Sejarah Perbankan Islam di Indonesia
Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia khususnya –Negara-negara Islam, Indonesia ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendikia-cendikia muslim Indonesia.
Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya gagasan pemikiran perbankan berbasis syari’ah dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Perbedaan dan perdebatan dikalangan para cendikiawan atau ulama’ sangat luar biasa, perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga kelompok yaitu; kelompok yang menghalalkan, kelompok yang mengatakan syubhat dan kelompok yang mengharamkan. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syariah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.
Adapun pendapat Majelas Tarjih Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di Indonesia memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta.
Organisasi Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.
Adanya perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah.

Aspek Hukum Pada Perbankan Syariah

Aspek Hukum Kebijakan Pengembangan Produk Perbankan Syariah


Pendahuluan
Tahun 1930 terjadi keributan atau gonjang ganjing ekonomi, dimana sistem ekonomi mainstream yang disebut juga sistem ekonomi dominan di dunia pada saat itu sebagai arus utama di Negara-negara maju khususnya USA menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga pada saat itu, great depresion awal tahun 1930 terjadi, presiden AS, Franklin D. Roosevelt mempertanyakan keberadaan ekonomi alternatif untuk menjawab depresi besar yang terjadi ketika itu. Depresi ini menyadarkan dunia, ternyata sistem ekonomi mainstream yang telah diterima saat itu membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia.
Melihat fenomena faktual sistem ekonomi dunia maka muncul tuntutan mencari sistem ekonomi alternatif tersebut, secara nyata kita dapat memotret wajah buram ilmu ekonomi kapitalis dalam mencapai tujuan-tujuannya. Salah satu topik paling penting menjadi diskursus pada saat itu adalah topik “ekonomi alternatif.” Karena, masalah ekonomi yang sebenarnya adalah terletak kepada bagaimana kekayaan diperoleh, dan tidak terletak kekayaan itu ada atau tidak. Karena akar permasalahannya adalah terletak kepada konsep bagaimana perolehan atau kepemilikan (property), termasuk tentang absurditas transaksi dalam masalah kepemilikan (property), dan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar inilah sistem ekonomi Islam merupakan hukum-hukum yang mengatur tiga hal pokok yaitu kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi kekayaan. Tiga hal ini adalah yang nantinya menjadi asas dari sistem ekonomi Islam itu sendiri. Tiga hal inilah yang dilupakan dalam sistem ekonomi mainstream yang dominan, sehingga kegagalan-kegagalan akan terus datang silih berganti.
Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem ekonomi barat atau kapitalis, maka juga ikut tersangkut dan terkena imbas dari carut marutnya persoalan ekonomi dunia. Maka krisis demi krisis ekonomi yang terus berulang, seperti di tahun 1930, 1970, 1980, 1999 sampai 2007 ini – telah secara nyata membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme – sekularisme telah gagal menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan.
Setelah melalui perjalan panjang, akhirnya Indonesia mengakui adanya tuntutan adanya ekonomi alternatif yaitu Sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan Islam yang sebenarnya sudah lebih dulu eksis dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, itu tidak cukup memberikan legitimasi eksistensi dari sistem perbankan Islam di Indonesia Karena legitimasi tersebut tidak memberikan ruang gerak yang memadai dalam operasionalnya.
Untuk membandingkan perkembangan perbankan syariah, kita bisa lihat perkembangan sistem hukum perbankan Islam di Negara-negara tetangga kita semisal Malaysia, Sehingga, gerak dari sistem perbankan Islam di Malaysia sungguh luar biasa dan mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam sistem perekenomian nasional Malaysia. Pertanyaan yang muncul, kenapa di Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas beragama Islam terbanyak di dunia hal itu tidak bisa berjalan sesuai keinginan kita, adakah yang salah dari kita ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita lakukan pembahasan dan analisa beberapa aspek dan persoalan yang dihadapi perbankan Islam di Indonesia sebagai berikut : 1. Sejarah perkembangan Sistem perbankan Islam di dunia dan Indonesia, 2. Prospek perbankan syariah di Indonesia, dan 3. Aspek hukum dan peraturan pendukung Perbankan Syariah di Indonesia dengan mencoba membandingkan aspek hukum perbankan Islam di Malaysia.

hukum ekonomi

HUKUM EKONOMI
Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Lahirnya hukum ekonomi disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian. Di seluruh dunia hukum yang berfungsi mengatur dan membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi dengan harapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Rochmat Soemitro memberikan definisi, hukum ekonomi merupakan sebagian keseluruhan norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi di mana saling berhadapan kepentingan masyarakat. Sedang Sunaryati Hartono menyatakan hukum ekonomi indonesia adalah keseliruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia.
Sunaryati hartono juga membedakan hukum ekonomi Indonesia ke dalam dua macam, yaitu:
a. Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hokum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal)
b. Hukum ekonomi sosial, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hokum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia (misal, hukum perburuhan dan hukum perumahan).
Hukum ekonomi adalah hukum yang berkaitan dengan berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi dalam berbagai kegiatan bidangnya ada yang diatur oleh hukum, ada pula yang tidak atau belim diatur oleh hukum. Jadi hokum ekonomi mempunyai ruang lingkup pengertian yang luas meliputi semua persoalan berkaitan dengan hubungan antara hukum dan kegiatan-kegiatan ekonomi.
Hukum ekonomi merupakan kajian baru yang berawal dari konsep kajian hukum dagang. Jadi embrio dari hukum ekonomi adalah kajian hukum dagang dan perkembangan pada bagian dari hukum perdata.
Kajian hukum perdata, dalam hal ini hukum dagang, selalu mempunyai tekanan utama pada perikatan para pihak (hubungan hukum para pihak) dan tekanan utama pada hak dan kewajiban para pihak. Pengkajian hukum dagang juga dikaji dengan pendekatan mikro saja sehingga hukum dagang berada dalam ranah privat. Sedang hukum ekonomi tidak hanya dikaji dari hukum perdata saja tapi harus dikaji dari banyak aspek sehingga membutuhkan metode pendekatan yang berbeda dari kajian hukum dagang atau perdata umumnya. Hukum ekonomi mempunyai kajian dengan pendekatan makro dan mikro. Kajian yang berkonsep makro maksudnya ialah kajian hukum terhadap setiap hal yang ada kaitannya dengan kegiatan pelaku ekonomi secara makro, dalam bagian ini ada campur tangan negara terhadap kegiatan tersebut sehingga tercapai masyarakat ekonomi
yang sehat dan wajar (ruang lingkup publik). Sedangkan kajian yang berkonsep mikro maksudnya ialah kajian yang mempunyai wawasan khusus terhadap hubungan-hubungan yang tercipta karena adanya hubungan hukum para pihak yang sifatnya nasional, kondisional, situasional (ruang lingkup hukum privat).Dengan demikian hukum ekonomi berada dalam ranah atau mengacu pada hukum privat dan publik.
Contoh hukum ekonomi :
1. Jika harga sembako atau sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.
3. Jika nilai kurs dollar amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri akan bangkrut.
4. Turunnya harga elpiji / lpg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar negeri.
5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.
Masih banyak contoh lainnya yang dapat anda temukan sendiri.


referensi : http://20208837.blogspot.com/2010/02/aspek-hukum-dalam-ekonomi-kel-1.html

sumber-sumber hukum

SUMBER SUMBER HUKUM

Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah : segala apa saja yang menimbulkan aturan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa,yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber-sumber hokum dapat kita tinjau dari segi material dan segi formal :
1. Sumber-sumber hukum material,dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut,misalnya dari sudut ekonomi,sejarah sosiologi,filsafat dan sebagainya.contoh :
a. Seorang ahli ekonomi akan mengatakan ,bahwa kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
b. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum aialahh peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
2. Sumber-sumber hukum formal antara lain ialah :
a. Undang-undang (statute)
b. Kebiasaan (costum)
c. Keputusan-keputusan hakim (Jurisprudentie)
d. Traktat (treaty)
e. Pendapat sarjana hukum (doktrin)
a) Undang-Undang
Undang -undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.Menurut BUYS,undang undang itu mempunyai dua arti yakni :
• Undang-undang dalam arti formal : ialah setiap keputusan pemerintah yang memerlukan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya : dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen).
• Undang-undang dalam arti material : ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.

Syarat-syarat bagi berlakunya penduduk.
Syarat mutlak untuk berlakunya undang-undang adalah diundangkan dalam lembaga Negara (LN) oleh menteri/sekretaris Negara (dahulu menteri kehakiman ).Tanggal mulai berlakunya undang undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang undang itu sendiri.Jika tanggal itu berlakunya tidak disebutkan dalam undang-undang,maka undang-undang itu mulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam L.N.untuk Jawa dan Madura,dan untuk daerah daerah lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam L.N.sesudah syarat itu dipenuhi,maka berlakulah suatu fictie dalam hokum : “SETIAP ORANG DIANGGAP TELAH MENGETAHUI ADANYA SUATU UNDANG UNDANG.”Hal ini berarti jika ada seseorang yang melanggar undang undang tersebut,ia tidak diperkenankan membela dan melepaskan diri dengan alasan : “Saya tidak tahu menahu adanya undang undang itu.”
Berakhinya kekuatan berlakunya suatu undang undang yaitu :
o Jangka waktu berlaku telah ditentukan oleh undang undang tu sudah lampau.
o Keadaan suatu hal untuk mana undang undang itu diadakan sudah tidak ada lagi.
o Undang undang itu dengan tegas dicabut instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.
o Telah diadakan undang undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang undang yang terdahulu.
b) Kebiasaan (Costom)
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang ulang dalam hal sama.Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat,dan kebiasaan itu selalu berulang ulang dilakukan sedemikian rupa ,sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum ,maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan hukum,yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
c) Keputusan Hakim (Jurisprudensi)
Adapun yang merupakan peraturan pokok yang pertama pada jaman hindia-belanda dahulu ialah Algemene Bepalingen van wetgeping voor Indonesia yang disingka A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan-Perundangan Indonesia).
A.B.ini dikeluarkan pada tanggal 30 april 1847 yang termuat dalam Staatsblad 1847 No.23,dan sehingga saat ini masih berlaku berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang –Undang Dasar 1945 yang menyatakan : “segala badan Negara dan peraturan yang masih berlangsung berlaku selama sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Menurut pasal 22 A.B. : “de regter,die wegert regt te spreken onder voorwendsel van stilzwijgen,duisterheid der wet kan uit hoofed van rechtswijgering vervolgd worden,” yang mengandung arti,”Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peratuan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan,tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia akan dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.”
Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah,bahwa seorang hakim mempunyai hak untukmembuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara.Dengan demikian,apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu ,maka hakim haruslah membuat peratuan sendiri.
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri bedasarkan wewenang yang diberikan oleh pasal 22 A.B.menjadilah dasar keputusan hakim lainnya / kemudian untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan,dan keputusan hakim yang demikian disebut hukum Jurisprudensi.
Jadi Jurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang seriang diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
Ada 2 macam Jurisprudensi yaitu :
1) Jurisprudensi tetap
2) Jurisprudensi tidak tetap.
Yang dinamakan Jurisprudensi tetap adalah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa yang menjadi dasar bagi pengadilan (Standart-aresten) untuk mengambail keputusan.
d) Traktrat (Teraty)
Apabila dua orang mengadakan kata-sepakat (consensus) tentang sesuatu hal,maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian .Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi perjanjian yang mereka adakan itu.Hal ini disebut Pasca Sunt Servada yang berarti,bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditepati dan ditepati.
Perjanjian antara dua Negara atau lebih disebut juga perjanjian antara Negara atau perjanjian internasional ataupun traktat.Traktat juga mengikat warganegara-warganegara dari Negara-negara yang bersangkutan.
Jika traktat diadakan oleh dua Negara maka disebut traktat Bilateral,jika traktat dilakukan oleh lebih dari dua Negara maka disebut traktat Multiteral,contoh perjanjian internasional tentang pertahanan negarnegara eropa (NATO).Dan apabila Traktat Multiteral memberikan kesempatan pada Negara –negara yang pada permulaan tidak turut mengadakannya,tetapi kemudian juga menjadi pihaknya ,maka traktat tersebut dinamakan Traktat kolektif atau traktat terbuka,contoh PBB.
e) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuatan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.Dalam Jurisprudensi terlihat bahwa hukm sering berpegang pada pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hokum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.Dalam penetapan apa yang akan menjadi das keputusannya,hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya : apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya,pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.

Tujuan Hukum

TUJUAN HUKUM

Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara anggota masyarakat,yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itu.
Dengan banyak aneka ragamnya hubungan itu ,para anggota masyarakat memerlukan aturan aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.Untuk itu diperlukan aturan aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan kesadaran tiap-tiap anggota masyarakat itu.
Peraturan peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya,menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat.Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan ketentuan ketentuan dalam peraturan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Setiap pelanggar hukum yang ada, akan dikenakan sanksi berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yanag dilakukan.Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus menerus dan diterima oleh anggota masyarakat,maka peraturan peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas asas keadilan dari masyrakat tersebut.
Dengan demikian, hokum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hokum itu harus pula bersendikan pada keadilan,yaitu asas asas kaeadilan dari masyarakat itu.Berkenaan tentang hokum,kita mengenal beberapa pendapat sarjana ilmu hokum yang diantaranya sebagai berikut :

PROF.SUBEKTI,S.H
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Hukum dan Pengaadilan,”Beliau mengatakan,bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah : mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.


Hukum,menurut Prof.Subekti,S.H melayani tujuan Negara tersebut dengan menyelanggarakan “Keadilan” dan “Ketertiban”,syarat-syarat pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.Ditegaskan selanjutnya, bahwa keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadilan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegeliasahan dan kegoncangan.
Keadilan selalu mengundang unsur “penghargaan,” “penilaian” atau “pertimbangan”dan karena itu ia lazim dilambangkan suatu “neraca keadilan”.Dikatakan bahwa keadilan itu menuntut bahwa “dalam keadaan yang sama setiap orang harus menerima bagian yang sama pula”.
Dari mana keadilan itu ? Keadilan, menurut Prof.Subekti,S.H,berasal dari Tuhan Yang Maha Esa,tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil.Dan segala kejadian di alam dunia ini pun sudah semestina menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu pada manusia.
Dengan demikian maka dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus mencari keseimbangan antara perbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain ,untuk mendapatkan “keadilan” tetapi hukum juga harus mendapatkan keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan tuntutan “ketertiban”atau “kepastian hukum”.

PROF.MR.DR.L.J.VAN APELDOORN
Prof.van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht” mengatakan,bahwa tujuan hokum ialah mengatur pergaulan manusia secara damai.Hukum menghendaki perdamaian.
Perdamaian diantar manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukummanusia tertentu,kehormatan,kemerdekaan,jiwa,harta benda pihak yang merugikannya.
Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-golongan manusia.Pertentangan kepentingan ini dapat menjadikan pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan,seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian.Adapun hokum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya,karena hukum hanya dapat mencapai tujuan jika ia menuju persatuan yang adil;artinya peraturan pada manusia terdapat keseimbangan anata kepentingan-kepentingan yang dilindungi,pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan.Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Dalam tulisannya “Rhetorica,” Aristoteles membedakan dua macam keadilan,yaitu keadilan keadilan “distributif” dan keadilan “komulatif”.
Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-masing).Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya;bukan persamaan melainkan kesebandingan.Contoh UUD-1945 pasal 27 ayat 2 : (“Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”),maka ini belum berarti setiap warga Negara mempunyai pekerjaan yang sama karena sesuai dengan keahliannya masing masing.
Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan.Ia memegang peranan dalam tukar menukar;pada pertukaran barang dan jasa dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.Keadilan komutatif lebih-lebih menguasai hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus.

TEORI ETIS
Teori etis mengajarkan,bahwa hukuman itu semata mata menghendaki keadilan.Teori teori yang mengajarkan tentang hal itu dinamakan teori etis,karena menurut teori-teori itu,isi hukum semata mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Teori ini menurut Prof.van Apeldoorn berat sebelah,karena ia melebihkan kadar keadilan hukum,sebab dia cukup memperhatikan keadaan yang sebenarnya.
Hukum mentapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat.Jika hukum semata mata menghendaki keadilan,jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap tiap orang apa yang patut diterimanya,maka ia tak dapat membentuk peraturan peraturan umum.
Tertib hukum yang mempunyai peraturan bukan,tertulis atau tidak tertulis tak mungkin,kata Prof.van Apeldoorn.Tak adanya peraturan umum berarti ketidaktentuan yang sungguh sungguh mengenai apa yang disebut adil dan tidak adil.Dan ketidaktentuan inilah yang selalu mengakibatkan keadaan yang tidak teratur.
Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum,harus menyamaratakan.Tetapi keadilan melarang menyamaratakan;keadilan menuntut supayasetiap perkara harus ditimbang sendiri.Oleh karena itu kadang-kadang pembentukan undang-undang sebanyak mungkin memenuhi ketentuan tersebut dengan merumuskanperaturan-peraturanya sedemikian rupa,sehingga hakim diberi kelonggaran yang besar dalam melakukan peraturan-peraturan tersebut atas hal hal yang khusus.

GENY
Dalam “science et technique en droit prive positif,”Geny mengajarkan bahwa hokum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan.Dan sebagai unsure dari pada keadilan disebutkannya “kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.

BENTHAM ( TEORI UTILITIS )
Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduktion to the morals and legisiation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata mata apa yang berfaedah bagi orang.
Dan apa yang berfaedah kepada orang yang satu,mungkin merugikan orang lain,maka menurut teori utilities,tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagiaan sebanyak banyaknya pada orang sebanyak banyaknya.Kepastiaan melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada hukum.Dalam hal ini ,pendapat Bentham di titik beratkan pada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum,namun tidak memperhatikan unsur keadilan.
Sebaliknya Mr J.H.P.Befroid dalam bukunya “Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland”mengatakan : “De inhoud van het recht dient te worden bepalald onder leiding van twee grondbeginselen,t.w.de rechtvaardigheid en de doeatigheid (isi hokum harus ditentukan menurut dua asas ,yatu asas keadilan dan asas faedah).

PROF.MR J.VAN KAN
Dalam buku “Inleiding tot de Rechtwetenschap” Prof.van Kan menulis antara lain sebagai berikut : “Jadi terdapat kaedah-kaedah agama,kaedah-kaedah kesusilaan,kaedah-kaedah kesopanan,yang semuanya bersama-sama ikut berusaha dalam penyelenggaraan dan perlindungan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Apakah itu telah cukup??Tidak ! Dan tidaknya karena dua sebab yaitu :
a. Terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur baik oleh kaedah-kaedah agama,kesusilaan maupun kesopanan,tetapi ternyata memerlukan perlindungan juga;
b. Juga kepentingan-kepentingan yang telah diatur oleh kaedah-kaedah tersebut diatas,belum cukup terlindungi.
Oleh karena kedua sebab ini kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat tidak cukup terlindungi dan terjamin,maka perlindungan kepentingan itu diberikan kepada hukum.Selanjutnya Prof. van Kan mengatakan,bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.
Jelas disini,bahwa hokum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukumdalam masyarakat.Selain itu dapat disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden),tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hokum terhadap dirinya.Namun tiap perkara,harus diselesaikan melalui proses pengadilan,dengan perantaraan hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Pengertian Hukum

PENGERTIAN HUKUM

Kata “hukum” mengandung makna yang luas meliputi semua peraturan atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya. Para ahli sarjana hukum memberikan pengertian hukum dengan melihat dari berbagai sudut yang berlainan dan titik beratnya. Berbeda-beda antara ahli yang satu dengan yang lain, karena itu tidak ada kesatuan atau keseragaman tentang definisi hukum, antara lain di bawah ini:
a. Menurut Van Kan
Hukum merupakan keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
b. Menurut Utrecht
Hukum merupakan himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah.
c. Menurut Wiryono Kusumo
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.
Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki beberapa unsur yaitu :
a. Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa
b. Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis
c. Mengatur kehidupan masyarakat
d. Mempunyai sanksi.
Peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat mempunyai dua bentuk yaitu tertulis dan tidak tertulis. Peraturan yang tertulis sering disebut perundang undangan tertulis atau hukum tertulis dan kebiasan-kebiasaan yang terpelihara dalam kehidupan masyarakat. Sedang Peraturan yang tidak tertulis sering disebut hukum kebiasaan atau hukum adat.

referensi : http://20208837.blogspot.com/2010/02/aspek-hukum-dalam-ekonomi-kel-1.html