b. Peraturan Pendukung Perbankan Syariah di Indonesia
Keberadaan UU nomor 10/1998 tentang perbankan dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia menjadi landasan utama penunjang perbankan syariah di Indonesia saat ini, dengan berbagai kelemahan dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, ditambah lagi yang menjadi persoalan sekarang adalah peraturan pendukung terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Tanpa adanya peraturan pendukung terhadap alat-alat dari transaksi perbankan syariah akan memenuhi kesulitan bahkan bisa fatal. Peraturan pendukung perbankan syariah dimaksud adalah tentang peraturan BI tentang operasional perbankan syariah, Obligasi, Pasar Modal, Hukum Perdata dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Pertama, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) mengamanatkan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian oleh BI antara lain: Kerangka dan perangkat pengaturan Operasional perbankan syariah belum lengkap; Pengaturan Cakupan pasar masih terbatas; Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif; Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal; perlu adanya aturan sistem bagi hasil dan transaksi dalam perbankan syariah serta aturan investasi asing di perbankan syariah (sebelum adanya UU atau PP Investasi di bidang perbankan syariah. Peran ini dirasa kurang dari Bank Indonesia, masih banyak yang harus diperhatikan oleh Bank Indonesia terkait pembuatan peraturan atau aturan main perbankan di Indonesia, sehingga posisi perbankan syariah dan konvensional berada dalam satu tingkatan yang sama.
Bank Indonesia sebagai Bank central Indonesia dengan hak dan otoritas yang dimiliki mestinya lebih leluasa membuat suatu kebijakan yang lebih komprehensif terkait dengan kebijakan perkembangan perbankan syariah. Peran bank Indonesia sungguh luar biasa kalau melihat amanah yang diberikan oleh UU. 23 Tahun 1999, sekarang tinggal bagaimana BI mamainkan perannya ke depan terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Kedua, Terkait dengan surat-surat berharga atau surat utang negara (SUN) di Indonesia yang berdasar syariah belum diatur sehingga dalam pelaksanaannya akan memenuhi banyak rintangan dan berdampak kepada pemahaman investasi dari aspek syariah pada sisi yang berbeda.
Pada tahun 2006 saja negara-negara Timur Tengah (Timteng) menawarkan dana hingga 8 miliar dolar AS, atau setara dengan Rp 71 triliun, untuk membeli obligasi syariah atau Sukuk Indonesia. Dana dari hasil penerbitan Sukuk itu nantinya digunakan membiayai proyek- proyek kelistrikan. Negara kaya raya dari Timur tengah kini memiliki dana yang melimpah ruah akibat tingginya harga minyak dunia. Di tengah limpahan duit, negara-negara Timteng itu kelimpungan mencari tempat investasi. Sebab sampai sekarang beberapa negara di Eropa dan Amerika menutup diri akibat peristiwa pengeboman menara kembar WTC, atau peristiwa yang dikenal dengan sebutan 9/11. Sebagai pengganti, negara-negara Timteng membidik Asia, termasuk Indonesia untuk menempatkan dana-dananya tersebut.
Kalau kita lihat UU No 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara/ obligasi kalau dipakai landasan obligasi syariah maka akan rancu, karena dalam UU tersebut masih banyak kata-kata secara tidak langsung berkaitan dengan bunga yang sangat bertentangan dengan konsep syariah atau riba. Sehingga dalam kenyataannya obligasi korporasi dengan prinsip syariah telah mencapai belasan (14 sampai saat ini, 6 mudharabah dan 8 ijarah). Contoh kasus, Obligasi Syariah Indosat tidak mempunyai acuan hukum positif seperti UU atau peraturan Bapepam yang menjadi naungannya. Sebagai gantinya Obligasi Syariah Indosat bernaung di bawah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 32 tentang Obligasi Syariah dan No 33 tentang Obligasi Syariah Mudharabah. Kasus lainnya, Obligasi korporasi dengan prinsip syariah yang sesudahnya juga dapat bernaung di bawah Fatwa DSN MUI No 41 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi Syariah dalam fatwa-fatwa yang telah disebutkan mengalami redefinisi sebagai Surat Berharga Jangka Panjang berdasarkan prinsip syariah sehingga dapat diperjual belikan.
Berangkat dari kasus-kasus ini, kalau dilihat dari kaca mata hukum dan peradilan, maka hal ini cukup meragukan, sehingga untuk memberikan kekuatan hukum sesuai dengan sistem hukum di Indonesia maka perlu adanya UU tersendiri mengenai obligasi syariah, sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor dan lainnya.
Ketiga, mengenai perangkat pendukung perbankan syariah sebagaimana perbankan konvensional, maka perlu diatur perdagangan saham perbankan syariah yaitu pasar modal berprinsip syariah.
Kegiatan Pasar Modal di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 8 tahun 1995 (“UUPM”). Pasal 1 butir 13 UU 8/95 menyatakan bahwa “Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”. Sedangkan Efek, dalam UUPM Pasal 1 butir 5 dinyatakan sebagai: “surat berharga yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas Efek dan setiap derivatif Efek”.
UU No. 8 Tahun 1995 ini tidak membedakan apakah kegiatan Pasar Modal tersebut dilakukan berdasarkan prisnip-prisnip syariah atau tidak. Dengan demikian, berdasarkan UUPM kegiatan Pasar Modal di Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan dapat pula dilakukan tidak sesuai dengan prinsip syariah.( KarimSyah Law Firm, 2005. Perlunya Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pasar Modal Berdasarkan Syariah. Jakarta) Sehingga dalam pelaksanaannya bagi perbankan syariah akan memberikan ketidak pastian apakah sesuai dengan prinsip syariah atau tidak. Maka dari itu, perlu sekiranya pembuatan perangkat hukum terkait dengan keberadaan pasar modal syariah untuk mendukung perjalanan perbankan syariah.
Keempat, Sebelum adanya amandemen terhadap UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama menjadi kendala hukum di Indonesia, kewenangan mengadili sengketa perbankan Islam ada ditangan Pengadilan Negeri, sedang pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara. Dan kita tahu wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syariah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, badan ini dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI, yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI. Tapi saying sampai sebelum UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama diamandemen, badan tersebut belum bekerja dan sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri. Dengan keluarnya UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.
Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah. Namun, wewenang yang dimiliki oleh pengadilan tersebut, tidak akan berjalan sesuai harapan konsep syariah tanpa didukung oleh perangkat peraturan yang komprehensif dari hukum perdata di Indonesia, karena perangkat hukum yang digunakan adalah kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPer) yang notabene belum bersusuaian dengan hukum perdata Islam.
Untuk itu perlu adanya hukum perdata Islam (syariah) yang akan mengatur sengketa perdata dalam perbankan syariah. Hal ini dirasa sangat penting untuk menghindari adanya ambiguitas hukum, disatu sisi konsep syariah diterapkan dalam perbankan syariah, tapi disisi lain penyelesaian perkara terkait perbankan syariah dilakukan berdasar hukum yang notabene peninggalan belanda.
c. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Malaysia.
Dari beberapa uraian tentang aspek hukum perbankan syariah di Indonesia, alangkah akan lebih menambah wawasan hukum perbankan syariah di Indonesia apabila kita mencoba melihat aspek hukum perbankan syariah di Malaysia
Struktur regulasi yang mengatur perbankan syariah di Malaysia cukup menarik untuk dicermati, karena mengawinkan sistem hukum common law dengan sistem hukum Islam secara komperehensif. Malaysia telah menyiapkan berbagai legal frame work bagi perkembangan perbankan syariah secara komperehensif, selain diatur secara mandiri perbankan syariah telah didukung oleh instrumen pasar modal syariah, asuransi syariah serta berbagai infrastruktur hukum syariah yang lainnya. Malaysia melakukan pemisahan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syariah dari sistem perbankan konvensional secara bertahap dan dari satu sisi ke sisi yang lain. Pemisahan tersebut dimulai dengan dikeluarkannya Islamic Bank Act (IBA) yang berlaku pada 7 April 1983, pada undang-undang tersebut Bank Negara Malaysia diberikan kekuasaan untuk melakukan supervisi kepada bank syariah. Sisi lain yang digarap adalah pengaturan mengenai investasi yang dilakukan dengan mengundangkan Government Investment Act 1983, pada saat tersebut pemerintah Malaysia mengeluarkan Government Investment Issue (GII), yaitu surat berharga pemerintah yang dikelola menggunakan prinsip-prinsip Syariah. Dalam hal ini GII dianggap sama dengan aset lancar, Bank Islam dapat melakukan penanaman modal pada GII agar mendapatkan bantuan pinjaman likuiditas dari pemerintah.
Perkembangan sistem perbankan ganda di Malaysia berlangsung dalam dua tahapan besar. Tahapan pertama berlangsung pada tahun 1990, pada tahapan ini perbankan konvensional dan perbankan syariah berjalan secara beriringaan dengan mekanisme pasar yang lebih terbuka. Tahap kedua berlangsung sejak tahun 2001, dimana perbankan syariah menjadi bahan utama dari bangunan keuangan nasional Malaysia. Perbankan syariah di Malaysia berkembang maju dan komperehensif sehingga dapat menyumbang pemasukan nasional secara kualitatif dan kuantitatif guna memenuhi kebutuhan ekonomi negara.
Adanya peraturan yang terpisah di Malaysia baik mengenai perbankan syariah, obligasi syariah, pasar modal syariah serta infrastruktur atau perangkat pendukung berupa peraturan yang terkait dengan operasional perbankan syariah oleh bank central Malaysia memberikan landasan yang kuat dalam perjalanan perbankan syariah di Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar